“Inklusi bukan hanya tentang menerima perbedaan, tetapi merayakan perbedaan.”

Empati adalah kemampuan untuk merasakan dan memahami apa yang dirasakan orang lain. Menurut Daniel Goleman, pakar Emotional Intelligence, empati merupakan salah satu keterampilan penting dalam kecerdasan emosional yang perlu ditumbuhkan sejak dini.

Pada masa kini, empati menjadi sesuatu yang sangat krusial. Seseorang dengan empati yang baik cenderung lebih mudah bekerja sama, lebih peduli terhadap sesama, dan lebih siap menghadapi perubahan sosial yang terjadi begitu cepat. Penelitian juga menunjukkan bahwa anak-anak dengan tingkat empati yang tinggi memiliki risiko lebih rendah untuk terlibat dalam perilaku agresif di kemudian hari.

Namun pertanyaannya, bagaimana kita dapat mempelajari empati? Empati tidak cukup hanya dipelajari dari buku atau teori. Sifat ini lahir dari pengalaman nyata, atau yang sering disebut sebagai learning by experience.

Sekolah Inklusif sebagai Ruang Belajar Empati

Di tengah tantangan kehidupan modern yang kian individualistis, sekolah menjadi salah satu tempat terbaik untuk memupuk empati. Di sinilah anak-anak berinteraksi, belajar menghargai perbedaan, dan saling membantu.

Sekolah Gemilang hadir sebagai sekolah inklusif di Bandung Barat yang menyediakan lingkungan ramah, aman, dan mendukung untuk menumbuhkan empati. Seperti namanya, sekolah inklusif tidak membeda-bedakan murid. Semua anak mendapatkan kesempatan yang sama untuk belajar, dengan dukungan yang sesuai kebutuhan masing-masing.

Dalam interaksi sehari-hari, murid Sekolah Gemilang terbiasa belajar bersama dengan teman yang memiliki kemampuan, latar belakang, atau kebutuhan yang berbeda. Hal ini menjadi pengalaman berharga yang melatih mereka memahami orang lain, menumbuhkan rasa peduli, dan membentuk karakter yang toleran.

Menurut studi UNESCO, pendidikan inklusif dapat menurunkan angka perundungan (bullying) hingga 50% di sekolah yang secara aktif menanamkan nilai empati. Anak-anak yang terbiasa berempati akan memiliki kepekaan sosial yang tinggi, mampu beradaptasi dengan lingkungan yang beragam, dan lebih siap menghadapi tantangan di masyarakat luas.

Carolyn Zahn-Waxler, seorang peneliti perkembangan anak di Amerika, memiliki pertanyaan “apakah empati itu dipelajari, atau sesuatu yang didapatkan sejak lahir?”.

Pada akhirnya ia berpendapat:

“Anak-anak belajar empati bukan dari kata-kata, tetapi dari apa yang mereka lihat dan rasakan setiap hari.”
Mari jadikan sekolah sebagai ruang aman bagi semua anak untuk belajar dan bertumbuh. Empati adalah kunci untuk menciptakan generasi yang toleran, inklusif, dan siap menghadapi dunia yang terus berubah.

***

Editor: Hafizh Muhammad Noor Esa, S.Si. CPHRM