Ada anak yang bertanya pada gurunya, "Bu, kenapa jawaban saya disalahkan? Padahal, kan sudah benar?" Anak itu mempertanyakan hasil penilaian ulangan harian dari sang guru. Soal-soal essay yang dia jawab sepemahamannya sering sekali disalahkan oleh guru tersebut.

Hari itu, dia memberanikan diri bertanya. Soal yang ia pertanyakan membahas tentang apa yang dimaksud dengan teks prosedur, lalu anak diminta membuat contoh teksnya. Sang anak mendefinisikan teks prosedur sesuai yang ia pahami, yakni teks yang menjelaskan tentang cara melakukan sesuatu/mencapai suatu tujuan melalui langkah demi langkah dengan terperinci. Di soal berikutnya, dia membuat contoh teks prosedur sesuai dengan pemahaman yang dia tuliskan. Namun, gurunya menyalahkan jawaban anak tersebut dengan alasan,

"Jawaban kamu tidak sama dengan yang ada di buku. Kamu tidak menuliskan juga struktur apa saja yang mesti ada di teks prosedur. Contoh kamu juga tidak sesuai strukturnya."

Lalu, sang anak bertanya kembali, kenapa jawabannya jadi salah karena tidak sesuai dengan buku? Padahal, maksudnya kan sama? Kenapa dia harus menuliskan struktur saat pertanyaannya hanya tentang pengertian teks prosedur? Yang mana yang salah? Pertanyaan, atau jawabannya? Tapi, guru tersebut tidak punya jawaban yang tepat, karena acuan membenarkan dan menyalahkan jawaban soal yang dibuatnya berdasarkan kunci jawaban yang tertera di buku paket pelajaran. Alih-alih menjelaskan, guru tersebut menjawab, "Yang ibu jelaskan kan tidak seperti itu. Ibu menjelaskan sesuai materi di buku."

Alhasil, anak berpikir:

Teori di buku dan pemahaman guru benar, sementara pemahamannya salah. Yang benar hanya apa yang guru ajarkan, bukan apa yang ia pahami dari pembelajarannya. Padahal, kenyataannya baik apa yang dimaksud buku, dan apa yang anak tersebut pahami merujuk pada tujuan dan maksud yang sama.

Di sisi lain, anak ini punya kebiasaan mencatat kembali pemahamannya tentang isi buku alih-alih menyalin sama persis isi buku di buku catatannya. Tetapi, karena sebelumnya pemahamannya seringkali disalahkan tanpa diberi penjelasan yang masuk akal, anak itu jadi enggan menulis materi pembelajaran. Dia tidak menemukan esensi menulis ulang isi buku dengan sama persis ke buku catatannya, tapi juga ragu untuk menuangkan pemahamannya.

Selanjutnya, anak jadi ragu untuk berpendapat. Dia juga tidak yakin dengan apa yang ia pahami dari materi yang dipelajari. Takut salah. Takut tidak sesuai dengan buku. Belajar jadi tidak terasa menyenangkan baginya karena dia kehilangan arah. Pemahamannya terhadap apa yang ia pelajari tidak divalidasi, tidak pula diarahkan ke arah yang benar dengan cara yang tepat.

Anak jadi kehilangan motivasi belajar. Dia tidak lagi tertarik untuk bereksplorasi saat petualangannya selalu dihadang oleh standar-standar tidak berdasar yang mengharuskan dia menyeragamkan diri dengan isi buku pelajaran. Padahal, isi buku itu pun merupakan gabungan pemahaman seorang penulis dari apa yang telah dia pelajari.

Anak punya potensi untuk mengembangkan lebih jauh satu nilai pembelajaran dengan interpretasi akalnya sendiri. Namun, kurang mampunya guru untuk merawat potensi itu malah memadamkannya dalam rasa tidak percaya diri.

Menjadi Guru yang Menyenangkan

Belajar semestinya terasa menyenangkan, sebab keinginan untuk terus belajar merupakan salah satu fitrah manusia sebagai makhluk yang berakal. Guru sebagai pendidik bertugas untuk memastikan kesenangan belajar itu tetap berada dalam diri setiap anak, bahkan berkembang.

Karena itu, seorang guru tidak semestinya terlalu mengacu pada isi buku. Kemampuan untuk mengobservasi, dan mengenali potensi siswa jauh lebih penting dimiliki oleh seorang guru dari pada menghafal satu teori dalam buku agar bisa menyusun strategi yang tepat dalam mendidik. Sebab bagi seorang guru, menyelenggarakan pendidikan semestinya bukan sekadar menggugurkan kewajiban dengan mengajarkan apa yang telah dihafalkan, melainkan tanggung jawab dalam membentuk sosok pemimpin di masa mendatang dengan merawat fitrah dan potensi anak agar terus berkembang.

Seseorang yang senang belajar seringkali punya caranya tersendiri dalam memahami dan menerapkan hal yang dipelajarinya. Sebagai makhluk yang unik, manusia selalu punya interpretasi tersendiri terhadap satu ilmu, dan itulah yang menjadikan pengetahuan menjadi lebih luas dari waktu ke waktu. Tidak adil rasanya saat fitrah mengembangkan ilmu pengetahuan itu dipadamkan hanya karena satu standar teori di buku pelajaran. Seperti kata Ki Hajar Dewantara,

"Anak-anak hidup dan tumbuh sesuai kodratnya sendiri. Pendidik hanya dapat merawat dan menuntun tumbuhnya kodrat itu".

Untuk memelihara fitrah anak sebagai pembelajar sejati dengan segala keunikan karakter dan pola pikirnya, Sekolah Interaktif Gemilang Mutafannin menyusun model pembelajaran yang holistik dan komperehensif. Melalui kurikulum Cageur, Bageur, Bener, Pinter, dan Singer yang diaplikasikan dalam pembelajaran berbasis aktivitas.

Disusunnya model pembelajaran tersebut juga mengharuskan seorang guru untuk terus belajar, menambah kapasitas dan kapabilitas dirinya sebagai pengajar. Melalui pelatihan-pelatihan guru yang rutin diselenggarakan oleh Yayasan Baharu dan Sekolah Guru Mutafannin, Sekolah Interaktif Gemilang Mutafannin tidak hanya menjadi wahana belajar bagi anak, tapi bagi seluruh civitas yang terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan—guru, staff, orang tua, hingga masyarakat.

Sebagai Sekolah Inklusi yang Menyenangkan dan Mengadabkan, rasa bahagia anak selama belajar selalu menjadi hal penting yang kami pertimbangkan. Oleh karena itu, setiap pembelajaran dirancang berbasis aktivitas agar anak tidak mudah merasa bosan, dan menemukan kesenangan belajar di tengah tawa bahagia yang menguar selama jam pembelajaran.

Melalui model pembelajaran ini, anak bisa fokus mengembangkan potensi dalam dirinya sembari meyakini belajar sebagai hal yang menyenangkan untuk terus dilakukan. Di sisi lain, guru bisa berfokus pada potensi masing-masing anak didik tanpa berusaha menyeragamkan. Jadilah Dirimu, dengan Nama-Nya. Begitulah harapan Sekolah Interaktif Gemilang Mutafannin untuk setiap peserta didik dan seluruh civitas yang terlibat di dalamnya. Jadilah khalifah yang bisa menjalankan amanahNya dengan mengoptimalkan potensi diri dan memberi manfaat bagi peradaban.

Editor: Hafizh Muhammad Noor Esa, S.Si. CPHRM